04 Mei 2008

Jalan Pemikiran (Sebuah Ideologi)

KEAZALIAN ALLOH

Alloh bersifat qidam[1], karenanya Ia dikenal dengan kesendirian dalam menciptakan mahluk. Alloh ciptakan mahluk berdasarkan kepada Ilmu yang Maha Tinggi yang Ia miliki sendiri yang sifatnya qodim dan menetap pada Dzat-Nya, sehingga segala yang tercipta bertujuan jelas serta berhikmah. “Dan, Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya tanpa hikmah.” (QS Shad 27).

Alloh jadikan mahluk bukan karena Ia kesepian, tapi Alloh menghendaki agar ada yang mengenal dan menyembah-Nya, serta agar ada yang membutuhkan-Nya[2]. Sebagaiman Firman-Nya: “Tidaklah Ku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk menyembahKu” (QS Adz Dzariyat 56). Alloh mengetahui segala apa yang akan menimpa mahluk-Nya sebelum mahluk itu terwujud, oleh sebab mahluk itu berada dalam Pengetahuan-Nya. Sebagaimana Firman-Nya, “Dialah Alloh yang tiada Illah selain Dia, yang mengetahui akan yang ghoib dan yang nyata.” (QS Khowatim Al Hasr). Hanya dengan kehendak-Nya mahluk itu ada. Firman Alloh SWT, “Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepada-Nya: Jadilah ! maka jadilah ia.” (QS Yaasiin 82).

Alloh ciptakan mahluk dengan sifat membutuhkan-Nya, walau saat Alloh memberi kepadanya, mahluk tak dapat melihat Sang Pemberi melainkan dengan keimanan dalam hati yang bening lagi suci. Firman Alloh yang menggambarkan sifat lemahnya mahluk dan melihatnya ia akan Alloh selaku pemberi segala kebutuhan hidupnya, “Hanya kepada-Nya aku menyembah dan hanya kepada-Nya aku memohon pertolongan” (QS Al Fatihah 5). Alloh adalah penopang hidup mahluk[3]. Bila Alloh tak mau mengurus mahluk atau telah datang masa kehancuran bagi mahluk, maka akan musnahlah mahluk tersebut. Firman-Nya, “Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekalah Dzat Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan.” (QS Ar Rahmaan 27).

Ke-Esa-an Alloh tak berubah walau telah ada wujud dzat yang lain selain Ia, sebab selama-Nya tak ada Dzat Tuhan yang lain selain Alloh. Firman-Nya, “Katakanlah, Dia Alloh itu Ahad!” (QS Al Ikhlas 1). Adanya Alloh tak sama dengan mahluk, sebab Ia bukan mahluk. Firman-Nya, “Berbeda Ia dengan segala sesuatu dan Ia Maha mendengar lagi Maha Melihat.” Alloh yang awwalu tak dapat disentuh oleh waktu, karenanya tak boleh ada pertanyaan kapan Alloh sendiri tanpa mahluk. Firman-Nya, “Dialah Yang Awwal dan Yang Akhir, Yang Dzohir dan Yang Bathin.” . Sebab mahluk pernah mengalami ketiadaan dan Tuhan selalu ada. Adanya mahluk dalam ruang waktu, sementara adanya Alloh di atas sekalian waktu. Tanpa Alloh tak akan ada waktu dan ruang.

SEPENGGAL HIDUP MANUSIA

Illah ciptakan akal nurani bagi manusia yang mampu menyatu dengan raganya. Akal membawa rahasia Ketuhanan-Nya, sebagaimana firman-Nya, “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Alloh mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): Bukankah Aku ini Tuhanmu ?. Mereka menjawab: Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan: Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (Ke-Esa-an Tuhan).” Setelah persaksiaannya, maka jadilah ia sebagai pengobar kerinduan jiwa insan untuk mencari Tuhan yang ia butuhkan. Dan hanya yang telah kembali pada keridhoan-Nya [mendirikan ibadah menurut agama-Nya] dan yang ikhlas kepada-Nya saja yang akan melihat dan menggantungkan kebutuhannya hanya kepada Alloh SWT. Kebutuhan insan diciptakan Alloh agar insan mendapat manfaat dari-Nya. Alloh yang menopang hidup insan, maka dari-Nyalah segala kebutuhannya. Firman-Nya, “... Alloh mengatur urusan (mahluk-Nya),...” (QS Ar Ra’d 2).

Tanpa memintapun Alloh akan memberi, sebab dengan memberi menandakan Aloh selaku Pencipta. Namun dengan meminta, maka insan akan memasuki bagian kecintaan-Nya[4], keluar dari kebutaan menuju penyaksian kepada kehambaannya pada Alloh. Alloh jadikan hukum ibadah agar nampak oleh tiap insan kedudukannya disisi Alloh dan kedekatannya dengan Pusat Kenikmatan Maha Tinggi yang ia butuhkan. Firman-Nya, “... supaya Dia menguji kalian, siapa diantara kalian yang lebih baik amalnya.” (QS Al Mulk 2). Maka insan yang memenuhi seruan Tuhan, Illah jamin akan menemui-Nya dengan kebahagiaan di negeri Kesentausaan. Firman-Nya, “Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabaran mereka (dengan) Syurga dan (pakaian) sutera.” (QS Al Insan 12). Siapa yang menjauhi-Nya, maka diberinya dia akan Keadilan oleh Tuhan di Yaumil Mizan.

Insan hidup dengan ketetapan-Nya yang tiada dapat dirubah oleh diri insan, melainkan perubahan itu ada pada ketetapan-Nya. Firman-Nya, “Apapun musibah yang menimpa (manusia) melainkan dengan seidzin Alloh, dan barang siapa beriman kepada Alloh, maka Alloh akan membimbing hati orang tersebut”. (QS AT Taghobun 11). Firman-Nya, “Apapun musibah yang menimpa di bumi ini dan yang menimpa diri-diri kamu, melainkan tersebut dalam kitab (Lauhil Mahfudh) sebelum kami menciptakannya, sesungguhnya yang demikian itu sangatlah mudah bagi Alloh supaya kamu tidak berputus asa terhadap apa yang luput begimu, dan supaya kamu tidak sombong atas apa yang Alloh berikan kepadamu Dan Alloh tidak suka kepada yang congkak lagi sombong” (QS Al Hadid 22-23). Maka insan karim [mulia] hidup dengan belas kasih-Nya. Illah berhak bersikap bagaimanapun terhadap mahluk-Nya [mau dicintai-Nya ataupun dibenci-Nya].

Bila insan diberi kenikmatan dan keselamatan oleh Alloh; maka terasalah karunia-Nya itu. Dan tiada beruntung insan yang Illah benci sehingga ia terhina dibawah kerajaan-Nya. Dengan Illah saja insan mampu mencapai keselamatan, sebab insan tak mampu merubah ketetapan Alloh atas dirinya yang Alloh buat sebelum insan terwujud dan hanya Alloh yang mampu menjadikan suratan taqdirnya menghantarkan kepada Karunia-Nya Yang Maha Besar [Wajah-Nya]. Maka dengan mengikuti seruan-Nya serta mempercayai pertolongan Alloh, insan berharap semoga apa yang telah Alloh berikan kepadanya berupa perbuatan taat merupakan isyarat keselamatan yang Alloh berikan sebagaimana Ketetapan yang telah Ia buat[5].

Insan taat yang berharap Syurga dengan mengitikadkan bahwa Alloh akan memberinya Syurga berkat amal ibadahnya dikatakan berangan-angan, sebab Syurga diberikan-Nya bukan berdasarkan amal insan, tapi sesuai dengan kemauan Alloh untuk bertemu dengan insan tersebut. Sabda beliau SAW, “Seorang masuk Syurga bukan karena amalna tetapi karena rahmat Alloh Ta’ala. Karena itu bertindaklah yang lurus.” (HR. Muslim). Jika Alloh menghendaki agar insan bertemu dengan-Nya, maka dijadikanlah insan melakukan penyerahan dirinya untuk memenuhi seruan-Nya sampai bertemu insan dengan Illah di lapang Syurga yang luas dengan sekalian insan mulia lainnya.

Hisyam bin Ammar berkata: Kami diberitahu Muhammad bin Sa’id bin Sabur, kami diberitahu Abdurrahman bin Sulaiman, kami diberitahu Sa’id bin Abdullah Al Jarsyi Al Qodhy, bahwa dia mendengar Abu Ishaq Al Hamdany menyampaikan hadist dari Harist Al A’war, dari Ali bin Abu Tholib KW, dengan memparfu’kannya, dia berkata, “Sesungguhnya jika Alloh telah menempatkan penghuni Syurga di dalam Syurga dan menempatkan penghuni Neraka di dalam Neraka, maka Dia mengutus Ar Ruhul Amien (Jibril) kepada para penghuni Syurga untuk berkata, ‘Wahai penghuni Syurga, sesungguhnya Rabb kalian menyampaikan salam kepada kalian dan memerintahkan kepada kalian agar mengunjungi-Nya di halaman Syurga, (yang) debunya berupa minyak Kesturi dan kerikilnya berupa butiran Mutiara dan Yaqut, pepohonannya dari Emas yang halus dan daunnya adalah permata Zamrud. Para penghuni Syurga keluar dalam keadaan gembira dan suka ria. Disana mereka dikumpulkan dan disana ada kemuliaan Alloh serta memandang Wajah-Nya. Itulah janji Alloh yang dipenuhi-Nya bagi mereka. Lalu Alloh mengizinkan mereka untuk mendengarkan (suara merdu), makan dan minum. Mereka dikenakan perhiasan kemuliaan, kemudian ada penyeru yang berseru, ‘Wahai Wali-Wali Alloh, adakah sesuatu yang masih menyisa dari janji Alloh kepada kalian?’. Mereka menjawab, ‘Tak ada. Dia telah memenuhi apa yang pernah dijanjikan kepada kami. Tiadapun yang menyisa selain dari memandang Wajah-Nya’. Maka Rabb menampakkan diri kepada mereka di balik sebuah tabir. Dia berfirman, ‘Wahai Jibril, singkirkan tabir-Ku ini untuk hamba-hamba-Ku, agar mereka bisa memandang wajah-Ku’. Dia berkata, ‘Maka Jibril menyingkirkan tabir yang pertama, hingga mereka bisa memandang cahaya dari cahaya Rabb. Seketika itu mereka merunduk kepada-Nya untuk sujud. Rabb beseru kepada mereka, ‘Wahai hamba-hamba-Ku, angkatlah kepala kalian, karena ini bukan tempat tinggal untuk melakukan amalan, tetapi ini adalah tempat tinggal untuk menerima balasan’. Lalu Jibril menyingkirkan tabir kedua, hingga mereka memandang suatu urusan yang paling agung dan besar. Seketika itu mereka merunduk kepada Alloh untuk memuji dan bersujud. Rabb menyeru kepada mereka, ‘Angkatlah kepala kalian, karena ini bukan tempat tinggal untuk melakukan amalan, tetapi ini adalah tempat tinggal untuk menerima balasan dan kenikamatan abadi’. Lalu Jibril menyingkirkan tabir yang ketiga, hingga pada saat itulah mereka bisa memandang Wajah Rabbul-alamin. Tatkala memandang Wajah-Nya itulah mereka berkata, ‘Maha Suci Engkau. Kami belum beribadah kepada-Mu dengan sebenar-benarnya ibadah’. Alloh berfirman, ‘Karena kemulian dari-Kulah yang memungkinkan kalian bisa memandang Wajah-Ku dan menempatkan kalian di Tempat Tinggal-Ku’. Lalu Alloh mengizinkan bagi Syurga untuk berkata, ‘Kebahagiaan bagi orang yang menempatiku dan kebahagiaan bagi mereka yang hidup abadi di dalamku dan kebahagiaan bagi orang yang kupersiapkan baginya’. Itulah makna firman Alloh, ‘Wajah (orang-orang Mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabbnya mereka melihat “ (QS Ar Ra’d 29, Al Qiyamah 22-23).[6]

ALAM HATI MANUSIA

Al Halim jadikan insan memiliki segala kelangkapan untuk menerima isyarat-Nya. Hati Ilahiah-Ruhaniah merupakan gerbang penyaksian insan kepada Isyarat Tuhan[7]. Segala yang disaksikan insan dari mata lahirnya dan akal rasionya tak akan mencapai penyaksian kepada keberadaan-Nya tanpa memasuki wilayah hati. Alloh berfirman, “Dan tidak adalah bagi manusia itu perkataan Alloh kepadanya, kecuali berupa wahyu atau dari balik dinding atau Alloh mengutus seorang Rasul, maka Alloh memberi wahyu dengan izin-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS Asy Syura 51).

Ruh insan bersemayam di dalamnya. Insan adalah ruh, sehingga di dalam hati itu insan menegakkan kepemimpinannya untuk mencapai kehidupan [yang sesuai dengan kwalitas diri yang didambakannya], baik kehidupan jasmani maupun ruhani. Ruh insan menghadapi dua kekuatan besar di dalam hati, yang keduanya sangat mempengaruhi kwalitas dirinya dalam kehidupan ini. Alloh SWT berfirman, “Maka Alloh ilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaan,” (QS Asy Syams 8). Kekuatan itu disaksikan secara naluriah oleh akal nurani sebagai kebenaran dan kesalahan. Dengan mendalami sukmanya, ia yang ridho Alloh sebagai Tuhannya akan mengetahui bahwa ruhnya akan bahagia dengan kebenaran, dan yang bathil itu dipandang olehnya sebagai penghancur kebahagiaannya.

Dalam agama-Nya, insan mengetahui secara pasti kepada kebenaran dan kesalahan oleh sebab keyakinannya pada Petunjuk Alloh yang menjelaskan akan sumber kekuatan keduanya. Alloh berfirman, “Alif laam raa. (Ini adalah) kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha terpuji.” (QS Ibrahim 1).

Kecenderungan insan kepada yang hak, dibantu oleh malaikat melalui bisikannya yang menjelaskan antara yang hak dan yang bathin secara jelas. Firman Alloh SWT, “Dan (Malaikat-malaikat) yang membedakan (antara yang hak dan yang bathil) dengan sejelas-jelasnya.” (QS Al Mursalat 3). Kecenderungan insan kepada yang bathil didorong oleh Iblis yang telah merelakan dirinya untuk dilaknat oleh Alloh SWT. Alloh berfirman, “Dan, syetan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (QS An Nisa 60).

Alloh tak bersemayam di alam semesta, Ia bersemayam di hati insyan yang sholeh. Dalam riwayat Ibnu Umar ia berkata, Pernah ditanyakan kepada Rasulullah SAW; “Ya Rasulullah! Dimana Alloh berada? Di bumi atau di langit? jawab Nabi SAW, Di hati orang-orang mu’min.” Dalam sebuah Hadist Qudsi tertulis, “Alloh berfirman: Tak dapat memuat Zat-Ku, bumi dan langit-Ku. Yang dapat memuat Aku ialah hati hamba-Ku yang Mu’min, lunak, dan tenang.”[8] . Oleh karenanya, hati dapat menyaksikan isyarat Alloh perihal kejadian dimasa mendatang secara rahasia, hingga terbitlah keyakinan insan padanya setelah menyaksikannya melalui isyarat tersebut. Diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al Khudry, bahwa Rasulullah SAW, bersabda, “Waspadalah terhadap firasat Mukmin, sebab ia melihat dengan Nur Alloh SWT” (HR. Bukhori dan Tirmidzi).

Adanya Alloh dalam hati, menandakan keberhasilan dalam mensucikan hati oleh sebab kasih-Nya. Dalam Kitab Minhajul ‘Abidin, Imam Al Ghozali mengatakan bahwa Alloh membisikan amalan-amalan dan pengetahuan yang bathin kepada setiap insan. Kesucian berhasil dicapai, berkat dukungan malaikat. Para malaikat menunjukkan amalan-amalan serta pengetahuan lahir bagi insan.

Ketinggian derajat disisi Alloh dan keselamatan seorang hamba, terdapat pada hamba yang bertaubat, beriman, beramal sholeh, lalu meluruskan amalnya dengan keridhoan Alloh, dan membeningkan hatinya dengan kekuatan penyucian yang ia peroleh dari ketinggian ilmu serta keawasaannya pada isyarat-isyarat Tuhan[9] dalam hatinya.

BELAIAN KASIH TUHAN

Bila hamba yang beriman melakukan pelanggaran, maka Alloh akan membawa hamba tersebut kepada ujian yang berisikan petunjuk kebenaran, dan ilmu kekuatan untuk mencapai derajat perbaikan[10]. “Barang siapa diuji lalu bersabar, didzalimi lalu memaafkan dan mendzalimi lalu beristighfar maka bagi mereka keselamatan dan mereka termasuk orang-orang yang beroleh hidayah”. (HR. Al Baihaqi).

Penyaksian kepada cela adalah anak kunci untuk mengetuk pintu penerimaan Alloh; perbaikan diri dengan mengikuti syariat-Nya adalah penerimaan-Nya. Sementara naiknya derajat hamba setelah perbaikan [berkat ilmu yang ia peroleh dalam kurun ujian Alloh kepada dirinya] adalah pendekatan kepada-Nya. Dan tiada berpalingnya hati hamba setelah hamba menjadikan dirinya menyembah Alloh [sebagai nilai kenikmatan yang digandrungi dimana kenikmatannya membuat hamba ketagihan] merupakan tanda hadirnya kedekatan pada Cinta-Nya.

Menyembah Alloh tak akan disukai jika hamba tak mengenal-Nya, menganggap remeh segala ketergantungan kepada selain-Nya, dan membenci dirinya saat ia berpaling dari-Nya. Artinya, hamba harus memiliki kesungguhan dalam taat kepada-Nya, merengkuh segala kenikmatan yang terdapat padanya, menetapkan dalam hati sebagai kenikmatan yang diunggulkan dari sekalian kenikmatan hingga terbitnya ketergantungan, lalu menjadikan kedekatan sebagai kebiasaan, dan menjadikan hidupnya bergantung kepada Alloh.

Alloh menjadikan hidup indah dan lapang bagi hamba yang merindukan kehadiran hati kepada-Nya, maka bagaimana pula bila hamba memikirkan kelezatan yang akan ia peroleh saat penyaksian kepada-Nya ?. Dalam Ash Shahih dan As Sunan serta Al Masanid, disebutkan dari hadist Tsabit Al Bunany, dari Abdurrahman bin Abu Laila, dari Shuhaib r.a. , dari Nabi SAW, beliau bersabda, “... Lalu Dia menyibak tabir dan merekapun memandang-Nya. Demi Alloh, Alloh tidak memberikan sesuatu yang lebih mereka cintai dari memandang-Nya serta tidak ada yang lebih menyenangkan hati mereka (selain dari itu)” . Nikmat bertaubat disempurnakan oleh nikmat penerimaan-Nya. Setiap hamba bergerak menaiki derajat kedekatan kepada-Nya, maka semakin tinggi derajat kemuliaannya semakin lezatlah rasanya. Ketinggian derajat lezat itu bergantung kepada hati. “Tidak bohong hati tentang apa yang dilihatnya” (QS An Najm 11).
Mahluk dan Tuhan dapat ditempatkan dalam hati manusia, tapi hanya satu diantaranya yang harus bersemayam di dalam bathin. “Alloh sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya” (QS Al Ahzab 4). Bila insan menempatkan mahluk, maka Tuhan tak nampak. Bila ingin Tuhan yang hadir, maka kecintaan pada mahluk harus disirnakan dengan mencintai-Nya atau mencintai mahluk atas dasar kecintaan pada-Nya. Imam Junaid r.m. berkata, “Apabila Alloh itu tiada, maka menyebut sesuatu yang tiada adalah suatu tanda ketiadaan (akal). Apabila Alloh itu ada, maka menyebut nama-Nya sambil merenungi-Nya sebagai ada (meyakinkan apa yang ia rasa dan saksikan dalam hatinya sebagai Tuhan) adalah suatu pertanda tidak menghargai (KeMahaSucian Alloh)[11] “.

Alloh menyeru kepada sekalian yang mengimani-Nya untuk bersyukur, maka hamba harus membalas perhatian yang telah Alloh berikan melalu keimanan mereka. Belai kasih-Nya hanya dapat dipandang oleh hati yang ikhlas dalam mengabdi kepada-Nya, dan hanya dapat dibalas oleh orang yang awas akan rasa butuhnya kepada Alloh. Insan membutuhkan Alloh, sebab insan merasa bosan selalu dikejar oleh kebutuhan yang tak berujung. Insan yang arif mengetahui bahwa unjung kebutuhannya adalah Alloh, maka insan butuh bertemu dengan Alloh agar ia menemui ujung kenikmatan hingga tiada kenikmatan yang insan butuhkan lagi selain Diri-Nya.

MENGEJAR PENERIMAAN AL-WALIY

Al-Waliy telah menggelar tawaran yang khusus kepada mereka yang mau beribadah secara ikhlas, berupa sinar perlindungan dan tali kasih [berupa petunjuk] Seorang Tuhan Yang Kwalitas Tanggung Jawabnya melebihi siapapun dari sekalian mahluk-Nya. Dengan syarat, insyan mau membawa dirinya kepada kebahagiaan yang Alloh berikan kepadanya. Tentunya karena Alloh memiliki martabat yang Maha Mulia, Ia hanya layak bersanding dengan Kemuliaan-Nya sendiri.
Insan yang dimuliakan-Nya dengan ketaatan kepada-Nya adalah Kemuliaan-Nya. Karena insan memiliki sifat yang lemah dan alfa, maka ia akan mudah diperdaya oleh syetan, kecuali kalau insan dilengkapi dengan ilmu dan kedekatan kepada-Nya. Ilmu dan kedekatan kepada-Nya akan membawa rahmat dan ampunan-Nya. Kelengkapan tersebut adalah penawar kelemahan dan alfanya, sebab lemah dan alfa tak akan memberatkan hati bila Alloh memaafkannya. “Orang yang bertaubat dari dosanya seperti orang yang tidak menyandang dosa” (HR. Tabrani). Keduanya akan menjadi neraka dunia bila Alloh tak memaafkannya, dan bagaimana ia akan dimaafkan bila insyan tak mau kembali kepada-Nya dan memperbaiki diri. “Tidak menjadi dosa besar sebuah dosa bila disertai dengan istighfar dan bukan dosa kecil lagi suatu perbuatan bila dilakukan terus menerus” (HR. Tabrani). Dan tak disebut sebagai alfa bila ia sadar melakukannya.

Insan harus mencintai-Nya dengan menjalankan sekalian yang fardhu, serta mengundang kecintaan-Nya dengan amalan sunah. Dari Abu Hurairah, Rasul SAW bersabda, “Bahwasanya Alloh berfirman: Barangsiapa menentang seorang kekasih-Ku, sungguh Aku akan memeranginya. Tiada seorang manusia berusaha mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan amal ibadah sunah yang Aku senangi sesudah menyempurnakan amal ibadah yang Ku wajibkan atasnya, sehingga Aku mencintainya, ... “ (HR. Bukhori).

Hati yang mencintai-Nya adalah hati yang bergegas memenuhi panggilan-Nya oleh sebab kebutuhan dirinya yang harus ia ambil dari hasil ibadah kepada Tuhannya.. Dan hati yang dicintai-Nya adalah hati yang terus mengingat-Nya disepanjang waktu, serta mampu ia menunggalkan cinta untuk Alloh saja [segala cinta hanyalah untuk cinta-Nya]. Abu Abdullah Al Qurasyi mengatakan, “Hakikat cinta berarti bahwa engkau memberikan segenp dirimu kepada Dia yang kau cinta, hingga tak satupun yang tersisa”[12].

Dari sini insan menyadari bahwa Al-Waliy hanya akan menerima insan yang selalu bersama-Nya sehingga, Tuhan seakan-akan menjadi teman akrab yang senantiasa memberinya kasih sayang [selama insan membalas kasih-Nya dengan mendengar lalu taat]. Dengan demikian kelayakan untuk bersanding dengan-Nya adalah bila Alloh memberikan Cinta-Nya, lalu hamba menerima Cinta-Nya dengan sempurna [Tak ada penentangan kepada-Nya]. Hamba yang menempatkan cinta kepada mahluk di atas mencintai-Nya, tak akan dapat menerima cinta-Nya secara penuh sebab ia tak memiliki kecintaan yang pasti kepada-Nya.

WILAYAH RASULULLAH ADALAH WILAYAH CINTA

Alloh mencintai dengan cinta yang khusus kepada satu orang, sehingga seluruhnya diseru untuk mencintai-Nya [hingga Alloh seru leluhurnya untuk menghormatinya]. Alloh berfirman, “Sesungguhnya Alloh dan malaikat-Nya mengucapkan sholawat ke atas Nabi (Muhammad SAW). Wahai orang-orang ynag beriman bacalah sholawat atas Nabi dan ucapkanlah salam dengan penghormatan kepadanya” (QS Al Ahzab).

Beliau adalah Ahmad atau Muhammad SAAW, seorang insan yang mampu mewujudkan kwalitas kemanusiaannya secara paripurna. Kemanusiaannya menjadi suri tauladan bagi sekalian manusia [termasuk manusia yang sudah berada dalam perut bumi]. Sabda beliau SAAW, “Aku kesayangan Alloh. Aku membawa panji pujian pada hari kiamat, dibawahnya Adam dan yang sesudahnya, ... Dan akulah yang paling mulia dari kalangan terdahulu dan terbelakang di sisi Alloh” (HR. Tirmidzi).

Beliau SAW memiliki kwalitas dalam mencintai-Nya, sehingga segala perbuatannya selalu berbiaskan Mahabbatullah. Beliau SAW loyal dalam mencintai-Nya, sehingga wilayah dakwahnya bernuansakan cinta suci. Islam [agama yang beliau tegakkan] merupakan Peradaban Cinta. Umatnya sejahtera karena hidup bersama ruh cinta suci [yang terbit dari kecintaan Illah], yang bergerak-gerak diantara mereka. Illah berfirman dengan rasa Cinta, untuk menyeru sekalian mahluk kepada Cinta-Nya.. Aturan yang Illah buat, dimaksudkan untuk menguakkan wujud Cinta-Nya kepada setiap mahluk. Kalam yang berlimpah Cinta itu diturunkan hanya kepada hamba yang Ia Cintai dari sekalian hamba yang Ia Cintai.
Setelah beliau SAW mendapat perintah untuk menyebarkan Kalam Cinta-Nya kepada sekalian mahluk-Nya, mulailah beliau melepaskan segala Cintanya [yang beliau peroleh dari Tuhannya] beserta Kalam Illah yang beliau serukan kepada sekalian mahluk Alloh SWT. Akal yang merindukan hadirnya nuansa Mahabbatullah bergemuruh meronta-ronta ingin mendengarkan Perwujudan Cinta Alloh itu [Muhammad SAAW]. Sementara nafsu bergejolak, resah, dan menutupi mata akal dengan mengerahkan segala dayanya untuk menjerumuskan insan kepada kebencian Tuhan. Iblis dengan sekutunya nafsu, menghempaskan kerinduan akal dengan gelora cinta kepada dunia. Maka insan yang telah tertutup akalnya [oleh sebab mengikuti kesesatan], tak dapat menikmati anggur Cinta-Nya [pahala taat] hanya dikarenakan perbuatannya yang memuas-muaskan dirinya dengan racun kehidupan [maksiat]. “Maukah kalian mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik? “ (QS. Al-Baqoroh: 61).

Insan dapat merasakan lezatnya anggur kehidupan [kehidupan hatinya] oleh sebab mengikuti beliau SAAW dengan kecintaan dan ketundukan [penghornatan kepada beliau dan pengagungan kepada Alloh], mencintainya SAAW dengan paksaan yang sangat kepada dirinya demi untuk membalas cinta beliau SAAW.

Alloh telah memberinya petunjuk melalui beliau SAAW, dengan demikian beliau adalah Wujud Cinta-Nya. Bila insan mencintainya berarti mencintai Alloh SWT, seperti meyakinkan akan adanya Ia dalam keadaan tak melihat kepada Dzat-Nya adalah sama dengan menyaksikan Dzat-Nya[13]. Insan tak dapat membalas cinta beliau dengan balasan yang setimbang, tapi dengan mengikuti beliau SAAW adalah sama dengan membalas cinta beliau, wallohua’lam.

Beliau tak merasa punya bagian dalam kepujian mahluk, sebab Segala Pujian bagi Alloh. “Segala Puji bagi Alloh Rabbul ‘alamiin” (QS Al Fatihah 2). Jika bukan karena Alloh, beliau tak akan menyampaikan Cinta Alloh kepada sekalian mahluk. Keutamaan beliau disisi Alloh tidak dikarenakan berbondong-bondongnya sekalian mahluk mengikuti seruannya, tapi karena Alloh mengutamakannya dalam Cinta-Nya. Beliau memiliki kewajiban untuk menyampaikan Risalah Cinta-Nya., maka beliau bahagia bila mahluk memahami ajaran Cinta-Nya sehingga mereka mencintai-Nya. Yang terpenting bagi beliau adalah ummatnya dapat berhimpun dengannya di Syurga untuk menyaksikan Wajah-Nya bersama-sama.

Beliau sangat sayang kepada ummatnya. Firman Allohj SWT, “Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu’min.” (QS At Taubah 129). Saat wafat dan bangkit kelak, yang dipikirkan oleh beliau [Dalam Samudera Taqorubnya kepada Alloh] adalah ummatnya. Diriwayatkan bahwa Nabi SAW berkata kepada Jibril AS menjelang wafatnya, “Siapa yang mengurusi umatku setelah aku?” Maka Alloh SWT mewahyukan kepada Jibril, “Beritakan kepada kekasihku, bahwa Aku tak akan menelantarkan umatnya dan beritahukan kepadanya bahwa ia adalah orang yang paling cepat keluar dari perut bumi ketika mereka dibangkitkan dan pemimpin mereka ketika mereka dikumpulkan, sedangkan syurga diharamkan atas umat-umat hingga dimasuki oleh umatnya.” Maka Nabi SAW berkata, “Sekarang senanglah hatiku”.
Kalau kita ummat beliau, maka cobalah untuk memikirkan sifat belas kasih beliau kepada kita.

Beliau tak menghendaki kesusahan menimpa ummatnya, sehingga bersungguh-sungguhlah beliau memperingatkan kita akan suatu jalan yang menghantarkan kita menuju kebahagiaan. Namun banyak diantara kita yang karena tidak menganal beliau, apa yang diajarkan, dan apa yang dituju oleh beliau, menyakiti hati dan membuat resah hatinya. Bukankah yang menyebakan beliau bertanya kepada Tuhan perihal kondisi ummatnya adalah karena beliau tahu bahwa ummatnya sepeninggal beliau akan disergap penyebab kegagalan dalam mencapai cita-cita yang diajarkannya. Secara khusus dapat dikatakan bahwa munculnya kekhawatiran beliau adalah karena ummatnya ada yang berbuat maksiat.

Maka demi Keagungan Alloh yang telah menjadikan sosok Pemimpin sebagus beliau, sekali-kali lemahlah kita semua di mata Alloh kalau tak sampai bersholawat kepadanya, dan lemahlah kita di hadapan beliau jika tak bisa menjaga agar diri tak termasuk orang yang menyebabkan hati beliau bersedih [mati dalam keadaan maksiat yang tidak ditaubati]. Salam kesejahteraan bagimu wahai Al-Musthofa Ahmad SAAW.

RUH CINTA DARI OBOR CINTA

Alloh tegakkan obor cinta [agama yang membawa manusia kepada kecintaan-Nya] dan menyalakan api cintanya [kemuliaan dan kejayaan peradaban islam] pada sumbu agama yang berminyakkan keimanan dan penyerahan diri kepada-Nya. Bila kita semua mau memenuhi seruan-Nya, maka akan Alloh berikan selalu petunjuk kepada kita akan jalan kejayaan dan kesejahteraan. “Dan mereka yang berjuang (berjihad) dijalan Kami, akan Kami tunjukan mereka itu kepada jalan-jalan kami” (QS Al-Ankabut: 69).

Bila kita semua mau melakukan segalanya dengan berdasarkan aturan atau cinta kepada-Nya, maka Alloh akan lapangkan kaki kita kearah kemuliaan. “... Barang siapa bertakwa kepada Alloh niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.” (QS Ath-Thalaq: 2). Dan Tidaklah agama kita mengajarkan sesuatu yang bersifat menghancurkan jasmani atau ruhani mahluk. Bahkan agama kita mengajarkan cara yang membawa kita kepada perbaikan semesta raya. Bagaimana Tuhan yang Agung dengan Ilmu-Nya, hendak menyembunyikan petunjuk kepada sekalian hamba-Nya yang hendak Ia jadikan sebagai bagian dari rahmat atas sekalian alam. Dengan rahmat-Nya alam ini tegak berdiri, segala kebutuhan dipenuhi, segala kelengkapan di lengkapi, dan segala kelebihan di kurangi. Maka yang menjadi rahmatullah akan menjadi faktor penyebab atau penikmat yang demikian itu (Rahmatan Lil ‘Alamin).

Agama yang didirikan Alloh atas dasar cinta, akan menguakkan potensi cinta insan yang mendalami dan mengikutinya. “Muhammad itu utusan Alloh, orang-orang yang bersamanya (orang Mu’min) sangt keras terhadap orang-orang Kafir, mereka saling mengasihi dan menyayangi” (QS. Al-Fath: 29). Dan bentuk cinta yang terkuak, tak akan beroleh kesempurnaan kalau bukan merupakan perwujudan Mahabbatullah [dasar semua cintanya kepada selain Alloh adalah Cinta kepada Alloh]. “Ada 3 golongan, barang siapa berada di dalamnya, akan mendapatkan manisnya iman, yaitu: 1) Barang siapa yang menjadikan Alloh dan Rasul-Nya lebih dicintai dari pada lainnya, 2) Barang siapa yang mencintai seseorang karena Alloh, dan 3) Barangsiapa yang tidak suka kembali kepada kekufuran setelah diselamatkan oleh Alloh dari kekufuran tersebut, sebagaimana tidak sukanya ia dilempar ke dalam api neraka.” (HR. Bukhori Muslim dari Anas bin Malik).

Bila insan mencintai mahluk sementara ia tak mencintai Alloh, maka bagaimana ia akan menemukan kecintaan hati kepada pimpinannya. Bagaimana akan tercetak kwalitas ahlak tinggi bila iman membencinya. Ahlak tinggi itu menuntut terwujudnya kesatuan kehendak ruh kita dengan kehendak akal nurani. Kehendak kita belum tentu benar kalau tidak sesuai dengan akal nurani yang qur’ani yang lebih tahu siapa Tuhannya, dan akal nuranilah yang memiliki kemampuan membedakan yang hak dan yang bathil dengan bantuan Petunjuk Alloh yang menyinarinya (Petunjuk Al Qur’an). Akal nurani hanya merasa senang bila dirinya berada dalam jiwa yang mencintai Alloh.

DERAJAT CINTA

Mencintai mahluk yang dicintai Alloh adalah suatu kewajiban. Dari Abu Hurairah Rasulullah SAW bersabda, “Ketika Alloh cinta kepada seorang manusia, maka disuruhlah Jibril memberitahukan kepadanya bahwa Alloh cinta-kasih kepada si-anu, oleh sebab itu cintailah dia.” (HR. Bukhori-Muslim). Sementara menyatukan cinta dengan persatuan ikatan [pernikahan] adalah sunnah. Dalam hadist Tirmidzi dari Abu Ayyub, Rasulullah SAW pernah bersabda, “Empat perkara yang merupakan sunnah para Nabi; celak, wangi-wangian, siwak, dan kawin.” Dalam suatu hadist dikatakan bahwa, “Rasulullah SAW melarang laki-laki yang menolak kawin untuk beribadah melulu”. (HR. Bukhori).

Mencintai apa yang dibenci Alloh adalah kebinasaan dan tidak perduli [mengingatkannya atau menetapkan kebencian atasnya] kepada mahluk yang melakukan maksiat menurut Imam Al-Qusyairy berarti merelakan diri menjadi syetan bisu. Insan yang memiliki cinta akan memiliki juga kecemburuan kepada yang dicinta bila yang dicinta melakukan hal yang tidak disukainya. “Alloh itu pecemburu dan orang mu’min juga pecemburu. Cemburu Alloh SWT adalah sifat yang muncul bilamana seorang hamba yang beriman melakukan apa yang telah dilarang-Nya.” (HR. Bukhory-Muslim-Tirmidzi). Bila kesukaannya itu adalah kesukaan Alloh, maka kecemburuannya membuahkan berkah banyak yang Alloh siramkan kepada pecinta dan yang dicinta.

Cinta adalah akibat tabiat, dan tabiat boleh dipengaruhi ilmu atau kebodohan setelah ia dipengaruhi akal nuraninya. Cinta yang berdasarkan nurani akan benar jika tidak menentang kecintaan-Nya. Kebodohan dalam bercinta disebabkan oleh sebab pengagungan nafsu syahwat diatas kebenaran Tuhan. “... Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Alloh sedikitpun? ...” (QS. Al-Qoshosh 50).
Insan yang mencintai mahluk saat ia belum memiliki cinta kepada Tuhan [belum memiliki kekuatan untuk mengarahkan perbuatannya kepada apa yang Alloh cintai demi kecintaan-Nya] akan dibayangi oleh dosa; sebab ia disargap oleh iblis setelah Alloh mencampakkannya akibat ia tak mau menjadikan-Nya sebagai dasar segala cintanya kepada selain-Nya. Alloh tak memberikan perhatian kepada insan yang tak memperhatikan arah jalan Tuhan, lalu Alloh palingkan Wajah-Nya saat hamba memalingkan dirinya kepada kebencian Tuhan. “Ada tiga perkara yang membinasakan yaitu hawa nafsu yang dituruti, kekikiran yang dipatuhi, dan seorang yang membanggakan dirinya sendiri” (HR Athabrani dan Anas). Dan kecintaan kepada mahluk itu merupakan fitnah, kalau tidak dibarengi dengan komitmen dan loyalitas kepada mahabbatullah, akan terjebaklah ia di dalam pengusiran Alloh oleh sebab hatinya yang dipenuhi oleh cinta kepada dunia.

Mencintai sesama harus berlandaskan kecintaan kepada-Nya, artinya bahwa kita harus menimbang-nimbang apakan penyebab, kehendak, niat, dan cara menyambung tali kasihnya berdasarkan apa yang dicintai oleh Alloh. Bila telah sesuai, apakan kita sanggup untuk tidak lalai dalam meraih cinta-Nya setelah mengikatkan cinta kepada selainnya dengan menggunakan aturan-Nya. Sedangkan Alloh telah memperingatkan dengan firman-Nya: “Katakanlah! Jika ... lebih kamu cintai daripada kecintaanmu kepada Alloh dan Rasul serta berjuang di jalan Alloh, maka nantikanlah keputusan-Nya” (QS. At-Taubah: 24).

Bila kita lalai maka Alloh cemburu, lalu memecahkan ruh cinta yang tengah menyergap cintanya kepada sesamanya untuk mengembalikannya pada wujud kecintaan Illah. Dalam sebuah atsar Illah disebutkan, “Wahai anak adam, Aku menciptakanmu untuk Diri-Ku dan Aku menciptakan segala sesuatu untukmu. Dengan Hak-Ku atas dirimu, maka janganlah engkau menyibukkan diri dengan apa-apa yang Ku ciptakan bagimu dan mengabaikan tujuan Ku ciptakan dirimu”[14]. Kita ditiba berbagai kesulitan saat mencintai mahluk-Nya, agar kita tidak lupa dan terus memperjuangkan cinta-Nya. Bila Alloh memaafkan dan menyatukan lagi ruh cinta kita, maka kita harus bertekad untuk mengejar cinta-Nya bersama.

“Seorang yang kurang amalan-amalannya maka Alloh menimpanya dengan kegelisahan dan kesedihan.” (HR. Ahmad). Perjuangan untuk mencari cinta-Nya terkadang harus berhadapan dengan kesulitan yang menghampakan hati dari kebahagiaan [sebab insan berpaling dari pada-Nya]. Saat kehampaan itu maka insan termenung dan hampa dari segala hasrat selain hasrat untuk merasakan kesulitan dalam hatinya tanpa mampu mengingat Alloh dan memohon pertolongan-Nya. Ia butuh seorang yang mengingatkan, yang paling dekat dengannya [yang memperhatikan keadaannya]. Dan bila orang tersebut adalah Alloh, maka ia harus memiliki perhatian yang besar kepada Alloh hingga setiap kebutuhannya dicukupi dengan cepat [sehingga nampak seakan tiada saat padanya kesulitan dalam menghadapi segala sesuatu sebab disaat ia menghadapi masalah Alloh memberikan jawabannya dan menguatkan ia untuk mengejarnya].
Al-Imam Ahmad berkata, Kami diberitahu Hasan dalam Tafsir Syaibah, dari Qotadah, dia berkata, Kami diberitahu bahwa Harim bin Hayyan pernah berkata, “Tidaklah seorang hamba menghadap kepada Alloh dengan hatinya meliankan Alloh menghadapkan hati orang-orang mu’min kepadanya, hingga Dia menganugerahkan cinta dan kasih sayang mereka kepadanya.” Hal ini diriwayatkan secara marfu’ dengan lafadz, “Tidaklah seorang hamba menghadap kepada Alloh dengan hatinya melainkan Alloh menghadap kepadanya dengan hati hamba-hamba-Nya dan menjadikan hati mereka menghampiri dengan membawa kasih sayang, dan Alloh dengan segala kebaikan yang diberikan kepadanya lebih cepat lagi.”.

Bagaimana orang yang mendapat kehampaan seperti itu dikatakan dekat kepada Alloh, padahal dengan hampa seperti itu menandakan lepasnya ia dari mengingat Alloh. Sementara teman akan meminta petunjuk kepada Temannya disaat menemui masalah, dan ia tak melakukannya. “Dan hanya kepada Alloh hendaknya kamu bertawakal, jika kamu benar-benar orang beriman.” (QS. Al-Maidah: 23). Sehingga ia dianggap tak mempercayai Temannya. Maka bagaimana yang tak dipercayai dan dilupakan akan membantunya. Namun Alloh pasti akan membantunya walau harus membiarkannya dahulu pada kehampaan agar ia sadar bahwa ia telah melalaikan Tuhan sumber kelapangan hatinya.

Alloh akan sentuh hatinya dengan bisikan yang menyeru kepada perbaikan diri. Adapun kelanjutannya tergantung kepada letak cintanya, bila ia lebih besar kecintaannya kepada selainnya dan melupakan-Nya maka akan putuslah tali ikatan-Nya. Dan bila putus tali kedekatan dengan-Nya, lalu bagaimana ia akan meminta pertolongan-Nya.
Keputusasaan ditandai dengan hilangnya pertolongan. Karenanya waliyullah disebut sebagai orang yang tak kesusahan, resah, dan berputus asa sebab mereka memiliki kecintaan kepada-Nya yang membuat petunjuk-Nya selalu lancar mengalir kepada hatinya. “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Alloh itu, tiada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Yunus: 62).

Jelaslah, bahwa dalam mencapai kepada Cinta-Nya kita perlu ditemani seorang sahabat yang mengingatkan kita di kala kesulitan. Kalau Beliau SAAW menikahi Aisyah RA, berarti Ummi Aisyah RA tak memberatkan beliau dalam mencapai kepada cinta-Nya, bahkan Ummi menjadi pemanis yang menghibur Beliau SAAW saat Beliau menghadapi kesulitan. “Sesungguhnya dunia seluruhnya benda dan sebaik-baik benda ialah wanita (istri) yang sholeh” (HR. Muslim).
Pengarahan seorang manusia yang sedang menuju cinta-Nya secara jujur dan ikhlas kepada manusia lainnya kepada cinta-Nya, akan memudahkan ia mendapatkan cinta-Nya. “Seseorang itu beserta orang yang dicintainya dan dia mendapatkan apa yang diupayakannya.” (HR. Tirmidzi, dari Anas). Pahala orang yang diberi petunjuk akan diberikan pula kepada yang memberi petunjuk. Bila pahalanya adalah kekuatan untuk mendekati-Nya, maka insan yang sudah hampir dekat kepada-Nya akan tambah dekat kepada-Nya.

Insan memiliki cinta yang khusus dari pada cinta yang lazim [cinta kepada sesama]. Cinta yang khusus ini berkaitan erat dengan kecenderungannya kepada lawan jenisnya. Kecenderungan ini memegang kunci pembuka cinta. Kunci pembuka cinta adalah saat yang dicinta memenuhi segala apa yang dibutuhkannya. Yang dibutuhkan insan meliputi jasmani dan ruhani. Alloh memberikan kebutuhannya melalui diri insan sendiri atau melalui sesama insan. Bila Cinta karena-Nya tumbuh, maka tingkat pahala yang Alloh berikan salah satunya diukur berdasarkan: 1) kekuatan ia untuk tidak meninggalkan kecintaan-Nya oleh karena kecintaan kepada selain-Nya, 2) kekuatan ia untuk membawa yang dicintainya [dari sesamanya] kepada Cinta-Nya.

Yang jelas, orang yang tak sanggup menghadapi ujian Alloh berupa penentangan kepada syahwat oleh sebab ia menghendaki kenikmatan syahwat, lalu menghindar dari faktor yang mendatangkan ujian-Nya untuk menghadapi ujian lainnya yang syahwatnya merasa nikmat padanya adalah orang yang lemah. Penghindarannya dari ujian untuk mengihadapi syahwat berarti menafikan pemberian Alloh berupa jalan menuju kesempurnaan hidupnya. Sebab adanya ujian berarti adanya sesuatu yang harus ditambah dan dikurangi dari dirinya[15].
Dengan demikian orang yang menikah memiliki beberapa keutamaan, diantaranya adalah: 1) Ia memperbesar amal oleh sebab perjuangannya terbagi kepada dua bagian yaitu: untuk menjaga diri dan istrinya agar tidak berpaling dari Alloh. “Barangsiapa menikah maka dia telah melindungi sebagian agamanya, karena itu hendaklah dia bertakwa kepada Alloh dalam memelihara sebagiannya lagi.” (HR. Al-Hakim-Ath-Thahawi). 2) Ia menjaga dirinya dari ketergelinciran dari jalan kecintaan-Nya oleh sebab perbuatannya kepada lain mahromnya yang dibenci Alloh [yang secara tidak langsung / samar membawa dirinya kepada dosa] saat ia hendak menyeru mereka kepada kebenaran. “Atas manusia ditulis bagian zina yang pasti menjumpainya ialah: ‘Kedua mata, dengan tatapannya, kedua telinganya dengan mendengarkannya, mulut dengan bicaranya, kedua tangan dengan menyentuhnya, kaki dengan berjalannya, dan hati dengan hawa menginginkannya, sedangkan yang membuktikan semuanya adalah alat fital, jadi atau tidaknya berbuat Zina” (HR. Bukhori-Muslim). Maka setelah ia menikah, urusan lain mahromnya diserahkan kepada istrinya sehingga semakin terjagalah hatinya [semakin suci] dari maksiat syahwat.

TANGGUNGAN DOSA

Setiap dosa yang dilakukan, bisa saja dihapuskan catatan dosanya dari malaikat atau diampuni oleh Alloh kelak di Hari Pembalasan. “Dan agar Alloh membersihkan orang-orang yang beriman (dari dosa mereka) ...” (QS. Ali-Imran 141). Tapi yang tidak bisa dihapuskan adalah rasa malu saat kehinaan itu dihadapkan kepada Dzat yang Maha Mulia di maqom yang mana kehinaan menjadi siksaan oleh sebab kemuliaan maqom tersebut. “Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban?.” (QS Al-Qiyamah 36).

Insan yang berdosa akan tetap tersiksa walau dosanya telah dimaafkan Alloh, karena penyebab dosanya yang bersemayam dalam hati belum Alloh hapuskan. Untuk keluar dari maksiat itu maka perlu menjauhinya dan menetapkannya untuk tidak kembali kepadanya lagi. Ia harus bertaubat dan taubatnya dilakukan sepanjang masa oleh sebab pengakuan akan kelemahannya yang memungkinkan tergelincir kepada dosa. Yang menjamin tidak kembali kepada dosa adalah kekuatan ilmu yang menghalangi diri dari melakukan maksiat itu. Ilmu tak akan sekuat itu bila ia tidak disepakati dan disukai oleh kita [Artinya, kita tidak mudah mengikuti kehendak berdasarkan Ilmu tersebut]. Yang melapangkan kita untuk menyukainya adalah hasrat yang besar untuk kembali kepada keridhoan-Nya. Hasrat itu tak akan sukses dalam perjuangannya hingga Alloh berhasil ia Cintai [Artinya: ia akan sulit menentang Alloh sehingga tak ada jalan untuk bermaksiat]. Kekuatan untuk menghindar dari cela adalah Cinta kepada-Nya. Dan tak ada kesanggupan untuk mencintai Alloh, takut dan harap melainkan dengan pertolongan Alloh semata, bukannya dengan kekuatan diri ataupun mahluk lainnya.

Hati perlu pengganti apa yang dicintainya dengan kecintaan kepada sesuatu yang kwalitasnya lebih baik dari padanya. Sementara kwalitas itu ditentukan oleh dirinya sendiri, bisa oleh nafsu atau akal yang sehat. Maka kwalitas rendah dapat menggulingkan yang tinggi [sebab akal tak mampu memberi kekuatan saat nafsu membelenggu] dan yang tinggi dapat meruntuhkan yang rendah. Dosa tak akan memberi kita jalan menuju kelapangan, maka bagaimana kita akan mencapai kebutuhan yang prinsipil dengan dosa.

Membiarkan faktor penyebab dosa berarti menghambat pencapaian menuju bahagia. Terhambat diperjalannan berarti akan mengurangi saat perjuangan untuk merengkuh kecintaan-Nya. Karena, bagaimana akan memasuki wilayah Cinta-Nya kalau ia memiliki dalam hatinya akan segala hal yang menyebabkan Alloh benci kepadanya. Maka kita harus berusaha hingga yang menimpa diri kita hanyalah dosa yang tak disengaja, sebab Alloh memaafkan dosa yang tak disengaja.

Setiap kecenderungan kepada apa yang dibenci-Nya akan menghambat perjalanan memasuki wilayah Cinta-Nya [tempat kebahagiaan prinsipil didapatkan]. Orang yang sudah membenci sesuatu, maka sulit bagi yang dibencinya untuk hadir dalam benaknya. Maka kemudahan Iblis untuk masuk kedalam hati dan menyerunya kepada apa yang dibencinya merupakan tanda bahwa ia belum membencinya dengan sempurna dan belum ia mengikatkan dirinya kepada Dzikrullah. “Bahwasanya orang yang takwa itu apabila diganggu oleh syetan lantas mereka ingat kepada Alloh, maka jika begitu mereka akan dapat melihat.” (Al-A’raf 201). Sebab Dzikir yang disertai kecintaan kepada-Nya, akan menyebabkan Iblis tak mampu untuk mendekatinya [apalagi membisikinya pada hal-hal yang buruk, sebab ia tahu bahwa itu akan sia-sia bagi mereka yang secara mutlak membencinya]. “Sesungguhnya hamba-hamba-Ku itu tidak ada kekuasaan bagimu (syetan) atas mereka.” (QS. Bani Israil 65). Maka Iblis akan menipunya dengan menyimpangkan cara penempuhan kepada Tuhannya dengan bid’ah dan keterpedayaan oleh amal perbuatannya. “Dan syetan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya” (QS. An-Nisa’ 60).

Yang akan selamat adalah orang yang mengetahui jalan Sunnah dan berketetapan padanya, meninggalkan yang syubhat, dan mengetahui bahwa hanya karena-Nya ia bisa demikian. ”Sesungguhnya ucapan yang paling benar adalah Kitabullah, dan sebaik-baiknya jalan hidup adalah jalan hidup Muhammad, sedangkan seburuk-buruknya urusan agama ialah yang diada-adakan. Tiap-tiap yang diada-adakan adalah bid’ah, dan tiap-tiap bid’ah adalah sesat, dan tiap kesesatan (menjurus) ke Neraka.” (HR. Muslim). Ia akan diberatkan oleh Iblis dengan duniawi, maka Alloh akan mendidiknya sehingga ia zuhud dengan tidak berlebihan dalam mencicipi yang halal dan tidak menaruh kecenderungan yang bertolak belakang dengan kecenderungannya kepada Alloh SWT.

Oleh karenanya, insan sebelum bertaubat harus menjadikan dirinya membutuhkan Alloh, takut akan azab-Nya sebab ia tak dapat ditanggung olehnya, dan menyaksikan segala celanya lalu menyesalinya hingga muncul kehinaan diri dihadapan Alloh saat menghadap-Nya untuk meminta ampunan dan pertolongan bagi taubatnya. Itu semua dirintis dengan kehendak untuk mensucikan diri dari segala yang menghambat Penerimaan Alloh kepadanya. Dan jalan menuju taubat itu ditopang oleh pengetahuan akan hak Tuhan dan kewajiban hamba kepada-Nya dengan mempelajari agamanya. Dan meyakinkan pegetahuan itu dengan amal perbuatannya yang ikhlas sehingga terbitlah sinar taufiq yang mengokohkan kebenciannya kepada penentangan kepada-Nya dan menguatkan kecintaan kepada-Nya. Sinar tersebut tak akan ada tanpa merasakan kenikmatan saat melakukan amal taat kepada-Nya. Maka keyakinan itu diperoleh saat diri menemukan kelezatan saat mengikutinya.

Hal yang menghambat diri untuk menikmati amal adalah adanya kecintaan pada duniawi yang memicu penyakit hati untuk menjamur di dalam hati, seperti riya [ingin dipuji] dan ujub [tak mau memuji Alloh sebab merasa dirinya layak untuk mendapat pujian dari mahluk] atau jahil [memuji Alloh sambil mengharap pujian dari Alloh]. Dan tidak dikatakan benar, insan yang mengaku menghendaki apa yang Alloh cintai padahal hasratnya untuk mengikuti apa yang dibenci-Nya masih ada. Selamanya ia tak akan menemukan kelapangan dalam perjalanannya, tak akan ada kemajuan dalam perjuangannya selama ia tak memperjuangkan agar hatinya mau secara mutlak membenci dan meninggalkan apa yang dibenci Alloh.

Ia tak akan membencinya bila nafsunya tak tunduk kepada akal nuraninya. Nafsu akan tunduk bila kita tak mengikuti segala hasrat buruknya dan meluruskan segala hasratnya pada jalan yang Alloh Cintai. “Adapun orang yang takut kepada Tuhannya dan menahan nafsu dari keinginannya, maka sesungguhnya syorgalah tempat tinggalnya.” (QS. An-Nazi’at 40-41). Dan tak ada kekuatan untuk menentangnya kalau kita tak memiliki ilmu yang akan membela kita dari sanggahannya atas ajakan kita.[16]. Tak akan ada gunanya segala yang kita miliki untuk melawan nafsu kalau Alloh tak menolong. Bagaimana Alloh akan menolong kalau sekiranya kita menolak untuk menggantungkan hidup kepada-Nya , mengingat-Nya serta menyembah-Nya.

MENAPAKI PERJALANAN

Perjalanan di dunia ini tidaklah seberapa lama[17], namun orang yang awas akan kelemaahan diri serta derajat ibadah yang harus dicapai akan melihat waktu sedemikian singkat itu tak akan mampu membawa dirinya kepada prestasi ibadah di sisi Alloh. Belum ia harus melengkapi perjalannya dengan mencari Ilmu, belum ia harus membersihkan hatinya untuk mengikhlaskan diri dalam beramal kepadanya, belum menjadikan diri tak bergantung kepada Alloh, dan masih banyak lagi. Padahal semua itu harus di tempuh di tiap derajat hidupnya. Waktu yang kita perlukan untuk menempuh semuanya adalah kelipatan dari waktu kita mencari kelengkapan tadi dengan waktu kita dalam menaiki derajat yang lebih tinggi setelah lengkap semua persyaratan menuju kenaikan derajatnya.

Persyaratan untuk menaiki derajat kemuliaan [ahlak dalam ibadah] diantaranya adalah: Menguasai dan memahami dzohir syariatnya, mendalami bathinnya [hakikatnya] sampai hati mengerti dan mencintainya, mengkondisikan jiwa-raga agar mau melaksanakan Ilmunya secara Ikhlas, dan membawa hati agar tidak berpaling dari Ibadah tersebut [Istiqomah].

Insan yang dalam dirinya ada kekuatan yang menghalangi dirinya untuk melaksanakan amal ibadah dengan Jujur dan Ikhlas, maka ia dihadang oleh dirinya sendiri sehingga ia terhalangi untuk memasuki kemuliaan ibadah karena kehinaan yang Alloh timpakan kepadanya. Kehinaan itu ditimpakan karena ia masih mencintai apa yang dibenci Alloh atau ia setengah hati dalam mencintai Alloh. Hatinya akan sempit dan penghidupan dunia akhiratnya tak akan layak [tiada memiliki berkah].

Ia akan keluar dari kehinaannya bila ia mau bertaubat, yang pendahuluannya diantaranya adalah: introspeksi diri sehingga mau menyadari dan mengakui kehinaan serta kekurangannya dalam menyembah Alloh. Yang terpenting adalah insan tersebut harus berkeinginan untuk dijadikan oleh Alloh bersungguh-sungguh dan benar dalam meneyembah-Nya. Adapun orang yang di hatinya telah terbit kerinduan kepada-Nya, maka tak sedikitpun di hatinya hasrat untuk menyembah selain Alloh dan ia memicu dirinya untuk beramal dengan wara’ oleh sebab keimanannya pada hari akhir, walau hanya sebatas gerakan-gerakan bathin yang tanpa pengendalian dari akal kita.

Ia kuat dalam menegakkan sunnah Rasulullah dan tegak di jalan Nabawiah. Ia memicu dirinya untuk mengenal Yang Disembahnya. Hingga terbitlah mentari keyakinan untuk tetap lurus pada kecintaan-Nya setelah ia saksikan Alloh dengan Persaksian Yang Jelas[18]. “Sewaktu orang-orang mu’min melihat sekutu musuh, mereka berkata, Inilah yang dijanjikan Alloh dan Rasul-Nya. Hal itu tiada menambah mereka kecuali meningkatnya keimanan dan kepatuhan kepada Alloh.” (QS. Al-Ahzab 22).

Rasa takut dalam hati harus ditopang oleh pengetahuan kepada Yang Ditakuti. Anas RA meriwayatkan, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Seandainya kamu semua tahu apa yang ku ketahui, niscaya kamu akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” (HR. Bukhory-Tirmidzi). Ilmu diperlukan untuk menimbulkan perasaan takut sebab dengan ilmulah akan terwujud penggambaran yang akan menghadirkan sekalian reaksi atas apa yang digambarkan dalam benak. Tingkat reaksi akan bergantung kepada kejelasan gambar. Dan kejelasan itu diperoleh sesuai dengan volume ilmu yang dimilikinya. Bila pemahaman akan ilmu tersebut telah tercapai, maka gambarannya melekat di hati dan selalu dilihat oleh hati. Oleh karenanya maka hati akan selalu menjaga agar diri tak kontradiktif dengan kehendak ilmu. Sabda Nabi SAW, “Sebenarnya dalam umatku ada segolongan orang yang diberi tahu (oleh hatinya) dan Umar itu termasuk salah seorang dari mereka.” Dalam sebuah atsar, bahwasanya Alloh berfirman, “Mana seorang hamba yang Ku ketahui hatinya, maka Aku lihat, hatinya banyak bergantung untuk mengingat-Ku, maka Akulah yang mengendalikan siasatnya, Akulah teman duduknya. Aku orang yang memberitahunya dan Akulah yang menggembirakannya.” [19].

Adapun syarat keyakinan adalah apabila hati sudah menyetujui dan mencintai kebenarannya Dikatakan dalam Risalah Qusyairiyah, “Keyakinan adalah musnahnya tindak-tindak perlawanan”. Dari padanya kita mengetahui bahwa tak akan menjadi ulama orang yang tak berilmu sempurna [ilmu lahir dan bathin]. Bila ia alim kepada fisik, maka ia akan memiliki pengetahuan kepada wujud, sifat, dan af’alnya. Demikian pula bila ia alim kepada metafisik[20].
Wajiblah tiap muslim untuk mencari ilmu hinga datang keyakinan kepadanya. “Menuntut ilmu wajib atas tiap muslim” (HR. Ibnu Majah). Sebab dengan ilmu ia akan tahu siapa dirinya dan apa yang harus ia lakukan kepada selain dirinya [secara benar dan jujur]. Wajib pula bagi yang menghendaki keselamatan untuk mengikatkan tali (bukan taklid buta) ilmu dan pemahaman kepadanya dengan tali dan pemahaman para Ulama yang berujung kepada Rasulullah SAAW. Sabda beliau SAW, “Ulama itu pewaris para nabi”. Wajib untuk menggantungkan diri kepada Alloh dalam mendalami pemahaman ulama, agar Alloh menunjuki kita kepada jalan pemahaman yang menyampaikan kita kepada samudera pemahaman Rasulullah [Al Qur’an]. Di dalam samudera itu kita bergerak-gerak mempelajari sinar-sinar Kalamullah.

Untuk menyingkap Ilmu Al-Qur’an, maka harus rujuk kepada Ilmu yang telah disampaikan oleh Rasulullah SAAW yang diwariskan beliau kepada ulama. Mereka yang melepaskan diri dari tali pengajarannya, maka tak akan memperoleh warisan dari beliau SAAW, maka bagaimana ia akan beroleh Cinta-Nya dengan melepaskan diri dari tali yang kuat itu. Firman Alloh SWT, “Katakanlah, Jika kamu (benar-benar) mencintai Alloh, maka ikutilah aku (muhammad), niscaya Alloh mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali-Imran 31).

Tiap manusia membutuhkan ilmu untuk membuka kecerdasan hati. Hanya Rasulullah saja yang memperoleh penyaksian secara jelas kepada Kalam-Nya (saat beliau menerimanya), oleh sebab Alloh telah mensucikan hatinya. Maka setiap penjelasan beliau atas Kalam-Nya adalah ilmu yang menerangi akal sehingga dengannya ada kekuatan untuk merengkuh kesucian hidup.

Keberhasilan manusia membawa diri pada jalan yang suci telah mensucikan hatinya pula. Bagi hati yang suci terbuka tirai cahaya-Nya yang mengajarkan hakikat kebenaran. Tapi syariat ibadah tidaklah Alloh tentukan selain kepada Rasul-Nya. Selainnya, hanya beroleh keyakinan kepada syariat yang beliau ajarkan dari Tuhannya. Sinar keyakinan dan kenikmatan pada syariat-Nya, hanya bagi insan yang beroleh gambaran kebutuhannya pada syariat itu dalam hatinya yang ia pandang berkat kesucian dan ketajaman mata hatinya (kedekatan kepada-Nya).
Al-Qur’an akan memberi tafsiran bagi mereka yang berilmu. Dan tafsiran itu bukanlah prasangka bila ilmunya tidak bertentangan dengan Rasulullah SAW. Dari Ulamalah kita beroleh pola pikir dan ajaran Rasulullah SAW. Merengkuh ilmu dari beliau semua yang berasal dari Rasulullah, berarti menegakkan kehati-hatian dan lampu penerang agar tidak terpelanting dari keselamatan.

Urusan syariat hanya beliau SAW yang tahu, maka syariat yang datang dari selainnya adalah bid’ah yang menjurus kepada siksa neraka. Setiap syariat mengandung urusan yang berkaitan dengan kemudahan dan keselamatan dalam menjalankannya hingga sampai kepada keridhoan Tuhan. Bagaimana selainya SAW, bisa membuat syariat dan merintis jalan keselamatan tanpa beliau SAW?. Padahal Alloh tidak menurunkan wahyu selain kepada Rasul-Nya.

Ilmu diperlukan untuk membukakan mata hati agar beroleh kekuatan untuk berjalan diatas jalan kebenaran menju keselamatan. Wahyu adalah petunjuk kepada keselamatan dan Rasul membuka jalan keselamatan dengan wahyu tersebut. Wahyu tersebut merupakan pelita bagi segala ilmu, agar ia menjadi ilmu yang bermanfaat.

Pada diri Rasul terdapat hati yang mampu menyingkap segala rahasia yang tak dapat disingkap oleh selainnya. Maka kwalitas kebijaksanaannya melebihi selainnya SAW. Untuk menentukan sesuatu butuh kepada pertimbangan baik dan buruknya. Rasul saja yang tingkat penguasaan kepada wahyu paling hebat. Segenap pertimbangannya bersih dari penyimpangan kepada wahyu oleh sebab ikatan cintanya kepada Alloh. Maka petunjuk beliau, adalah petunjuk yang paling selamat sebab pertimbangannya menggunakan pengetahuan kepada wahyu yang paling kompleks dan mendalam. Bagaimana selain beliau akan sanggup membuka jalan yang beda darinya dan selamat, padahal ilmunya tidak seperti Rasulullah?. Berada dalam sunahnya, berarti berada dalam jalan selamat. Yang diluar berarti berdiri pada jalan manusia yang tidak sempurna. Samakah keamanan diantara keduanya?.

[1] Qidam artinya dahuli dari sekalian wujud yang diciptakan-Nya, dalilnya adalah: Jika Alloh tak Qidam maka Ia Hadist [Baru]. Kalau Ia baru maka perlu kepada yang mengadakannya. Mustahil Alloh itu di Adakan sebab selai Alloh tiada Tuhan lainnya. Maka Alloh Qidam. [Jauharotut Tauhiid, Syekh Ibrahim Al Laqqoni]
[2] kata agar disana bukan mengartikan bahwa Alloh membutuhkan mahluk demi untuk tercapainya kehendak. Karena mahluk melakukan amal semata oleh sebab perbuatan Alloh. Bahkan mahluk membutuhkan Alloh agar ia butuh kepada-Nya. Kehendak Alloh tanpa rasa butuh kepada selain diri-Nya sendiri. Alloh tak dikatakan membutuhkan diri-Nya sendiri, sebab Alloh menyendiri dalam keserupaan dengan mahluk.
[3]Yang mencukupi segala kebutuhannya, termasuk kebutuhannya untuk tetap terwujud dalam alam wujud.
[4] Sabda Rasulullah, “Tiada yang lebih utama (mulia/yang dicintai-Nya) disisi Alloh daripada do’a.” (Kitab Qobasun min nuri Muhammad SAW, Muhammad Faiz AlmathHR. Ahmad).
[5]Alloh menetapkan keselamatan sebagai akhir hidupnya dan insan menghibur dirinya dengan penyerahan diri setelah ketaatannya sehingga ia berangan-angan memperoleh Syurga-Nya
[6] Kitab Raudhoh Al Muhibbin wa Nuzhoh Al Musytaqin, Bab XXVI , Ibnu Qoyyim Al Jauziyyah.
[7] Ihya Ulumuddin, Bab Rahasia Hati, Imam Abdul Hamid Al Ghozali.
[8] Diambil dari Ihya Ulumuddien Bab Keajaiban Hati, Imam Al Ghazali.
[9] Isyarat itu merupakan jalan insyan untuk meneruskan penyaksian hamba kepada wujud lahir menuju wujud bathin hingga sampai [wusul] kepada diri-Nya.
[10] Ilmu tersebut diperolehnya setelah Alloh menjadikannya mampu untuk menyaksikan segala cela yang mendorong dirinya untuk berbuat dosa.
[11] Warisan Awliya, Al Junaid, karya Fariduddin Al Attar.
[12] Risalah Qusyairiyah, Bab Cinta, Imam Abul Qosim Al Qusyairy.
[13] Hal tersebut terjadi sebab kemampuan manusia untuk melihat-Nya didunia hanya sampai pada perasaan akan hadirnya Ia.
[14] Kitab Raudhoh Muhibbin, Ibnul Qoyyim Al Jauziyah.
[15] Itulah sebabnya kenapa Alloh tak diuji, sebab yang pertama adalah karena Tak ada yang menguji Alloh dan yang kedua adalah karena Alloh telah sempurna dan tak perlu penyempurnaan. Sifat ketidak sempurnaan hanya milik mahluk. Mahluk yang tidak memenuhi seruan-Nya bukan ujian bagi-Nya, tapi kebutuhan yang menghindari mahluk adalah ujian bagi mahluk itu.
[16] karenanya dalam menyanggah kita harus meletakkan sanggahan itu pada dalil ilmu yang kuat dan benar.
[17] Bila kita telah ada di akhirat, maka 1 hari di dunia hanyalah 0.001 hari di akhirat. Kalau usia kita 60 Tahun, maka saat di akhirat kita akan merasa hidup di dunia itu hanya sekitar 219 hari saja, atau 1/2 tahun lebih.
[18] Dengan ilmunya, ia menjadi seorang yang selalu merasakan keberadaan Alloh di setiap jejak langkahnya sehingga takutlah ia kepada Alloh. Ketakutannya memicu kesungguhan dan kebenaran dalam beribadah sehingga jadilah ia seorang ulama.
[19] Diambil dari Kitab Keajaiban hati; Imam Al Ghozali.
[20] [Termasuk Alloh didalamnya menurut sebagian ahli tauhid, dan sebagian lagi mengatakan bahwa Alloh tidaklah ghoib dan tidak hidup dalam alam ghoib maka tak layak Alloh termasuk kepadanya. Alloh penguasa segala Alam. Maksud pertama adalah oleh sebab Alloh ghoib, maka Ia dipandang Metafisik tanpa pengitikadan bahwa Ia hidup pada Alam Metafisik. Maksud kedua berisi peringatan akan kedudukan Alloh di segala Ruang Kemahlukan.]

Tidak ada komentar: