04 Mei 2008

Campuran Warna Dalam Pusaran Gelora Tangisan Jiwa

Dikisahkan seorang hamba sahaya, duduk termenung di telaga kasih-Nya, yang setiap detik mencurahkan air sejuknya ke mulut hamba tersebut yang membisu. Ia mencerminkan wajahnya ke permukaan air dan mengambil perkataan dari bayangan wajahnya yang tercermin di permukaan air tersebut. Ia berkata:

“Dengan lemahnya diri untuk mencurahkan segenap hati dalam memuji-Nya, maka terhinalah aku dengan apa yang membebani diri ini. Ku sadari, bahwa semuanya dikarenakan aku terlambat mengayuh jiwa di atas samudera penyembahan kepada-Nya. Tetapi Ia selalu mengatakan, “Engkau belum terlambat untuk kembali …” Aku kagumi kesabaran-Nya dalam menghadapi diriku yang sehina hewan ternak yang kehilangan penggembalanya.

Pujian bagi Tuhanku yang menghiasiku dengan angin lembah, gukit yang hijau, dan dataran yang landai. Naturalku terwujud pada setetes embun dingin yang merasuki sukma ketenangan, yang menghempaskan segala belenggu, hingga aku bisa merasakan cita rasa cinta-Nya yang telah bersatu dengan ku, bersama sejuknya udara pagi hari yang bersih dan berkabut.

Rasanya kekotoran hati ini sudah menutupi kewujudanku di sisi pintu Penerimaan-Nya, sehingga aku harus tergopoh-gopoh menghadapi kemelut cinta yang merasuki sukma dan jiwa.
Ku hadapkan lagi wajah ini pada indahnya cinta Tuhan. Ku maklumi lagi besarnya rasa cemburu-Nya, saat aku menbodohi diri dengan sejuta fantasi yang tidak realistis dan tidak logis bagi jiwa kehambaanku.

Jiwa ini terasa ingin berlari mencari celah-celah bahagia di antara pekatnya kedunguan dan lemahnya iman.

Andai saja aku bisa membayangkan negeri akhirat, pastilah kebodohanku bisa sirna dengan ketakutan dan kekurangan diri ku selaku hamba-Nya yang akan menghadapi hisab-Nya.
Siapapun selain-Nya tak memberiku kekuatan. Tapi demi kelembutan-Nya, halus sekali tipuan itu menutup penyaksianku dari kebodohan yang tengah merasukiku, hingga berlarianlah segala ilmuku oleh sebab keadaanku yang seolah menentangannya.

Andai ada satu sosok yang nilai kasih dan binaannya lebih dari lembutnya sutra, pastilah beliau Rasulullah SAW. Andai ada sosok yang mendampingi orang yang mencintainya hingga kematian menjemput-Nya, pastilah Alloh SWT. Andai saja terkuak cintaku padanya, sudilah kiranya Alloh mempertemukan aku dengannya.

Di permukaan air ini ku saksikan jiwaku yang basah kuyup oleh kesalahan-kesalahanku. Sementara Ia terus memberiku air cinta yang tak kunjung menjadi pelipur bagi kesakitanku. Itu semua oleh sebab kenakalanku yang tak mau mendengar apa nasihat dan petunjuk cinta-Nya.
Dibalik hati ini terikat setangkai bunga persahabatan, yang kadang bisa ditanggalkan-Nya oleh sebab kebodohanku atau karena cinta-Nya. Persahabatanku dengan nilai kebenaran yang Ia pancarkan dari lubuk ilmu di dalam hatiku, telah menjadi perekat bagi cintaku pada Keindahan-Nya.

Dunia ini dalam penyaksianku telah menutupi kebenaran. Dan kebenaran itu terletak di balik sisi buruk diriku, di dalam hati yang bercahaya, di dalam wujud insan yang mengerti kewujudannya sebagai seorang hamba. Air pemahaman itu tak bisa ditimba dari sumur petunjuk, bila tali yang digunakan bukan tali agama. Dan Ia menyeruku supaya menggenggam tali-Nya. Ia berkali-kali memperingatkan diriku, namun belum jua aku mengerti, hingga belum sampai aku kepada pelepasan dari selain tali-Nya.

Aku diberi tahu-Nya bahwa sunnah adalah jalan menuju ta’jub itu. Maka semoga dengan kelemahan ini, Alloh bukakan pintu penerimaan-Nya, sehingga aku tak perlu keluar dari dalam telaga cinta ini. Sebab di atas permukaan air ini, tak ada wujudku selain keindahan-Nya. Di atas sana, wujudku telah menutupi keindahan-Nya. Dan ku pilih Islam sebagai jalanku, oleh sebab jalannya yang membawa setiap insan tenggelam di dalam pengesaan wujud-Nya. Dan dalam tauhid-Nya, aku bisa berlari-lari melakukan segala hal yang harus dilakukan hamba sahaya-Nya.”

Kemudian ia tertidur di pinggir telaga itu, air matanya mengalir melalui pipinya dan menyentuh permukaan telaga. Seketika telaga itu membiru, membuat angin mendendangkan lagu cinta-Nya, yang mengiringi perjalanan ruhnya di dalam kematian sementaranya.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Gelora hati tak menentu. Menunggu kau datang padaKu. Tiada rasa kau rasakan. Hanya sukma di dada. Gelora hati berdebar-debar menanti kedatanganMu di sisiKu. Hanya engkau seorang yg Kutunggu.....TinaKu sayang Belahan jiwaKu. Khusus buat TinaKu di kota Bangun Kaltim