04 Mei 2008

Bangun

Saat engkau tenggelam dalam alam hayalan atau lamunan, seharusnya engkau menemukan sebuah suara yang berkata, “Bangunlah engkau dari lamunanmu. Belumkan tiba saat buat dirimu untuk hidup di alam kenyataan, membangun segala realitas yang bisa kau buat, dan melakukan sesuatu yang maslahat bagi dirimu dan sesamamu dengan potensi cinta yang ada di dalam hatimu ?.” Dengan suara itu engkau bisa kembali ke dalam hatimu, lalu mencari kegelisahan yang berkeliaran di hatimu. Kegelisahan yang disebabkan karena ketidakpuasan hatimu dalam menikmati potensi kesanggupanmu. Fahamilah olehmu, bahwa segala perkara yang membawa pengetahuan yang ada di dalam benakmu, tak akan pernah bisa memberikan arti yang sangat besar terhadap rasa bahagiamu, selama engkau belum dapat merealisasikannya dalm bentuk konkrit yang terasa manfaatnya secara dzahir maupun bathin.

Kemudian engkau terbangun, dan kau berjalan di alam realitas, bergumul tidak dengan dirimu sendiri, tetapi jua dengan orang di sekitarmu. Kau menemukan berbagai halang rintang dan dorongan, yang membuat kebahagiaanmu timbul tenggelam. Hingga engkau bisa merasakan kerinduanmu silih berganti antara kerinduan untuk menyendiri dan bersua dengan sesama. Engkau akan terbaring kelelahan, karena akal-pikiran mu terkuras untuk kepentingan usahamu. Kau akan mengalami pasang surut kehidupan, yang akan memperjelas karakter dirimu dan tingkat pengabdian kepada Tuhan yang kau miliki. Kau akan terpana, melihat segala yang kau lewati berlalu meninggalkan dirimu. Sementara engkau tak punya kesanggupan untuk merubahnya, selain engkau bisa menangis dan bahagia.

Tatkala engkau tenggelam dalam kelemahan. Di saat mentari kekuatan untuk memegang ideologimu tidak bersinar, engkau terseret-seret menuju alam yang kau tentang. Engkau yang tak sudi bersua dan bergumul dengan kehinaan, dengan terpaksa memasukinya. Karena engkau tak punya kekuatan dan engkau harus mencarinya.

Tatkala engkau dilupa hingga kemudian disadarkan oleh secerca sinar pengetahuan yang terbenam di lubuk hati, engkau terperanjat lalu dengan segera menyimak suara tersebut. Suara tersebut berkata, “Bangunlah engkau dari kesedihanmu. Kenapa engkau rela membiarkan dirimu menderita semata untuk mempertahankan kehinaan. Keluarlah dan raihlah perjuangan. Sirnakan segala pendanganmu terhadap segala arah hina. Balikan tubuhmu dan masuki alam mulia. Berkurbanlah dengan menderita demi kemuliaan dan menyingkir dari kehinaan. Tatkala kau meyakini ideologi dan menghasratinya di hati, maka sejak saat itu engkau tak akan pernah bisa bahagia selama hasratmu belum kesampaian. Selama hatimu bergumul dengan perkara yang kontradiktif dengan ideologimu, maka kau akan sengsara, hingga binasa. Bangunlah, sebelum kau binasa”

Lalu engkaupun terduduk, mengambil nafas yang dalam. Kemudian memusatkan pikiran dan hatimu untuk membangun kekuatan ideologis. Kau kemudian berazam untuk keluar dari kehinaan dan menyirnakan semua ketertarikanmu kepada kehinaan dan melawannya dengan keimananmu. Kau kemudian berlari kepada Tuhan, yang kau tahu bahwa hanya Ia yang bisa menolong dirimu dan memberimu kekuatan. Kau kemudian menjadi orang yang sangat keras untuk kembali kepada Alloh. Semakin keras kerinduanmu terhadap kemuliaan, maka semakin keras perjuanganmu di jalan kemuliaan.

Kemudian ada suara yang berkata, “Masukilah alam ideologis, dimana engkau tak melihat sesuatu yang bertentangan di dalamnya selain hanya bayangan yang bisa kau singkirkan. Alam yang dibangun dengan kekuatan cintamu kepada ideologis dan kebencianmu kepada selainnya. Dengan kekuatan cinta dan bencimu, yang kau tatap hanya ideologimu. Sementara sesuatu selainnya, sirna dalam pandanganmu. Hingga tiada dalam pandanganmu sesuatu itu. Engkau hanya melihat apa yang ada di alam ideologis dan tiada yang selainnya. Segala sesuatu selainnya berlalu tanpa membawa cinta dan perhatianmu. Kau jadilah kemudian sebagai abdi ideologismu.”

Tatkala engkau telah patuh kepada ideologimu, maka ada suara yang berkata, “bilamana engkau telah menunjukkan keterpautanmu kepada ideologi Tuhan, maka engkau telah mengabdi kepada-Nya. Engkau telah menjejaki jalan-Nya dan telah menerima santunan-Nya. Maka terimalah karunia selanjutnya. Kau akan melihat segala sesuatunya adalah Ia. Karena keterpautan hatimu kepada-Nya telah membuat dirimu merasa tentram mengingat-Nya. Dan rasa hatimu yang menjelaskan ketidakmampuanmu hidup tanpa Alloh telah membuat dirimu terdorong ke syurga-Nya. Membuat dirimu terikat dengan-Nya dan tak lepas dari-Nya. Wajahmu melihat-Nya dan Ia telah menempatkan wajah-Nya selalu pada wajahmu. Hingga segala seuatunya membawa dirimu kepada-Nya. Kau melihat pada segalanya ada Ia.”

Jika kau telah tersadar akan Ia, maka ada suara kemudian yang memperkuat cintamu kepada-Nya, “Janganlah kamu menjadi orang yang menyirnakan semuanya agar engkau bisa melihat-Nya. Jangan kau menjadi terlupa bahwa engkau tiada beda dengan mereka. Engkau tak boleh menghinakan mereka dengan menganggap bahwa mereka layak sirna sementara engkau tak layak untuk sirna. Jika semua yang sirna itu adalah mahluk-Nya, maka kenapa engkau belum sirna. Adakah dua pemilik kewujudan. Jika engkau menganggap dirimu layak ada sementara yang lain sirna, maka malulah engkau kepada Tuhanmu. Selama engkau belum sirna, maka tak sampai engkau pada jati dirimu.”

Maka setelah itu, kemudian engkau benar-benar melihat dirimu sirna. Tak ada selain Alloh selain semuanya sirna. Pada dirimu dan selain Alloh kau melihat-Nya. Hingga kau tersadar bahwa segalanya tiada selain Ia saja. Tak kau temukan rasa selain kesadaranmu bahwa Ialah segalanya, yang maujud dan menyirnakan. Hingga kau temukan betapa dalamnya ruang Ketuhanan, dan terlupalah engkau dari segalanya.

Tidak ada komentar: