04 November 2007

Alloh Sebelum Segala Sesuatunya Ada

Apakah Alloh merasa kesepian sehingga kemudian Dia menciptakan mahluk?. Tentu saja tidak, karena Dia tidak bergantung, tidak lemah, dan tidak ditaklukan oleh mahluk-Nya yang bernama kesepian. Bagaimana Alloh bergantung kepada sesuatu, padahal tidak ada siapapun atau apapun yang menjadi tempat bergantung Alloh. Alloh tempat bergantung hamba-Nya, dan Alloh tidak bergantung kecuali kepada diri-Nya sendiri.

Tak ada yang mendorong untuk menciptakan mahluk, kecuali diri-Nya sendiri. Jika Nur Muhammad yang menjadi alasan Alloh menciptakan mahluk, maka alasan itu tidak datang dari selain diri-Nya. Dia tidak bersekutu dalam menciptakan Nur Muhammad, dan Dia tidak lemah sehingga perlu didorong untuk berkehendak dan menciptakan Nur Muhammad.

Jika Alloh berkehendak untuk menciptakan mahluk, bukan berarti Dia membutuhkan kehadiran mahluk. Jika dengan keberadaan mahluk kemudian Alloh menjadi satu-satunya yang disembah, tidak berarti Alloh butuh untuk disembah, disucikan, dan diagungkan. Keberadaan mahluk tidak menambah kemasalahan sedikit pun bagi diri-Nya, tidak bertambah ataupun berkurang. Tidak pula kemudian penciptaan-Nya adalah sia-sia, karena ada kemaslahatan dalam penciptaan. Bukan bagi diri-Nya, tetapi bagi mahluk-mahluk-Nya.

Jika Alloh hendak menunjukkan kesempurnaan penciptaan-Nya, maka pertunjukan itu untuk dilihat oleh mahluk-Nya, sehingga bertambah atau berkuranglah kedekatan mahluk-Nya. Maka maha Suci Alloh yang menciptakan tanpa rasa butuh, yang menciptakan dengan kemaslahatan yang tidak sia-sia bagi mahluk-Nya. Sungguh tidak ada pengaruh bagi-Nya, apakah mahluk diciptakan-Nya atau tidak.

Tentang Waktu Dan Ikatannya

Usiaku bertambah begitu aku mengarungi detik demi detik, dan setiap helaan nafas di dunia ataupun di akhirat. Apabila aku keluar dari ruang dan menghabiskan perjalanan dalam kurun waktu yang panjang, kemudian kembali lagi, apakah akan ada perubahan bagi usiaku?.

Aku berfikir pasti orang-orang yang tidak merasakan kurun waktu panjang yang dapat dihitung
itu, tidak akan menganggap sesuatu yang tidak terlihat. Mereka akan menghitung usiaku berdasarkan waktu yang mereka lihat. Sehingga waktu yang yang dihitung oleh mereka adalah waktu dari saat aku keluar dari ruang dan waktu hingga aku kembali lagi.

Apabila aku menjadi tua karena perjalanan itu, maka penuaan itu dianggap sebagai percepatan proses penuaan yang tidak dapat difahami sebabnya di dunia orang-orang yang tidak merasakan perjalanan. Apabila aku tetap muda, aku akan menjadi heran … kecuali perjalanan itu tidak menggunakan fisik, tetapi menggunakan bathin, dan waktu dalam perjalanan itu lebih cepat jika dilihat pada waktu sesungguhnya, maka aku tidak menjadi heran.

Aku melihat waktu adalah kekuatan yang tidak dapat aku tahan. Ia menggilasku, sehingga aku memiliki masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Apabila aku dapat melampaui waktu sehingga tiba di masa depan, aku tidak akan dapat menembus lebih dari batas usiaku. Rabb telah menentukan batasnya, yang mustahil aku hindari.

Aku harus menanggalkan ragaku untuk melampauinya. Terbang menuju masa depan dengan ruh, kemudian kembali ke pada raga dan hidup di masa yang sedang dijalani. Ruh yang terbang itu aku sebut harapan dan mimpi. Rabb yang akan menentukan, apakah yang dilihat olehnya akan terwujud atau tidak. Aku percaya, apa yang dilihat dan diharap oleh Mukmin pasti terjadi, tidak ada yang meleset dengan firasat Mukmin dan tak ada yang tak mungkin dengan mimpi yang benar.

Waktu menyentuhku begitu aku tercipta. Karena sebelum ruh ditiupkan dari mulut-Nya ke dalam ragaku, aku berada di alam tanpa ruang dan waktu. Waktu adalah maha karya-Nya, Rabb yang ada di segala ruang dan waktu, yang tidak terikat oleh keduanya. Hanya dengan keberadaan waktu aku bisa mengetahui bahwa Rabb Penciptaku sendiri sebelum segala sesuatunya tercipta. Dan hanya dengan waktu aku mengetahui bahwa aku tidak berdaya setelah segala sesuatu pada diriku tercipta.

Sewaktu kecil di atas kursi aku didatangi lintasan fikiran, sebelum mahluk-Nya ada maka Sang Pencipta sendiri. Sebelum Sang Pencipta ada, siapakah yang ada? Lintasan fikiran yang tidak layak ini datang untuk menguji, apakah hamba-Nya bisa mengenali Ketuhanan Alloh.

Pertanyaan tidak perlu dijawab karena aku sudah tahu bahwa tidak ada siapapun sebelum Sang Pencipta, karena Dia tidak diciptakan. Tidak ada sekutu bagi-Nya, dan Rabbku tidak diciptakan sebagaimana mahluk diciptakan. Aku seperti orang yang menutupi benda miliknya, kemudian ia berkata kepada dirinya sendiri, “Apakah benda yang ditutupi itu?”

Kalimat “Sebelum Sang Pencipta ada” mengindikasikan bahwa lintasan itu sedang mengatakan bahwa Rabbku terbelenggu oleh waktu yang diciptakan-Nya sendiri, dan itu mustahil. Alloh lah pengendali waktu, dan waktu tidak mengendalikan-Nya. Alloh Yang Awal dan Yang Akhir. Alloh ada selamanya, dengan atau tanpa waktu ciptaan-Nya. Pada saat waktu belum tercipta, maka kata “Sebelum” dalam pertanyaan tersebut adalah sesuatu yang aneh.

Waktu tidak mengikat Alloh, sehingga tidak layak jika dikatakan waktu telah dahulu ada sebelum Alloh ada. Jika waktu ada sebelum Alloh ada, maka ada yang menciptakan Alloh, karena tidak mungkin Alloh tiba-tiba begitu saja ada. Lalu siapakah yang menciptakan waktu? Atau waktu yang menciptakan Alloh? Atau yang menciptakan Alloh adalah yang menciptakan waktu. Lintasan fikiran ini berusaha mengecohkan diriku sehingga kemudian aku berfikir bahwa Alloh yang ku sembah adalah bukan Rabb Pencipta yang tidak pernah diciptakan.

Alloh yang menciptakanku adalah Rabb yang pernah sendiri tanpa ciptaan-Nya, tanpa waktu yang diciptakan-Nya, tanpa pena-Nya yang menuliskan istilah awal dan akhir. Dialah pencipta segala sesuatu, dan selain segala sesuatu yang diciptakan-Nya adalah Dia saja. Tidak ada selain Dia sebelum segala ciptaan-Nya diciptakan. Dialah Rabb Yang Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Tidak beranak dan dipernakan. Tidak akan pernah ada satupun yang menandingi -Nya.

Sesungguhnya waktu dicipta untuk mahluk yang Dia ciptakan. Waktu tidak memberi kemanfaatan kecuali kepada mahluk-Nya. Rabbku dapat ada tanpa waktu yang diciptakan-Nya. Setelah waktu diciptakan, dan setelah Rabb dikenal sebagai Yang Awal dan Yang Akhir, Dia tetap ada tanpa terikat waktu. Dan sebagaimana keberadaan-Nya yang tersaksikan pada ciptaan-Nya, Rabb pun hadir di segala waktu. Hal itu tidak mustahil, bagi Dia yang menguasai waktu. Demi masa, sesungguhnya mahluk itu terikat waktu, dan Alloh lah penguasa waktu, yang mengulur dan mempersingkat waktu.

Aku Adalah Hijab Yang Diam Diantara Segala Gerakan

Aku bersaksi bahwa Alloh meliputi (menguasai segala hal dalam diri) hamba-Nya. Tidak ada yang lepas dari genggaman-Nya. Ku saksikan dengan pandangan lahirku, bahwa mahluk adalah bukan Alloh. Dan aku tak dapat mengungkapkan pandangan batinku, karena aku tidak memiliki kelayakan untuk mengemukakan pandangan tersebut.

Kekuasaan Alloh meliputi bagian terluar (lahir) ku hingga bagian terdalam (batin). Walaupun demikian, aku bukanlah Dia. Aku adalah mahluk-Nya, sebagai manifestasi perbuatan, kekuasaan, dan kemampuan-Nya. Dan Alloh adalah pemilik perbuatan, kekuasaan, dan kemampuan yang sempurna dan tak terhingga.

Pada saat aku melihat segala hal pada diriku adalah gerakan-Nya, aku tersadar, kemudian melihat bahwa selama ini diriku terhijabi. Hijaban ini telah menyebabkan aku melihat bahwa diri ini tidak digerakan oleh Alloh.

Yang terlihat dalam hijaban hanya semata wilayah terluar, yang meliputi diriku, langit dengan gugusan bintangnya, dan bumi dengan hamparan tanah dan samuderanya. Sementara wilayah terdalam, yakni batinku, dan alam Ghaib seringkali tidak tersaksikan.

Jika hijab yang menutupi ku dari wilayah terdalam dihilangkan, maka akan tampak oleh ku bahwa diri ini adalah hijab yang tidak menghijabi1, bahwa diri ini adalah sesuatu yang menyaksikan dirinya sendiri, sehingga sampailah aku kepada esensi diri ini.

Dalam penyaksian tersebut, aku melihat bahwa diri ini bukanlah sesuatu yang hilang bersama hilangnya wilayah luar ataupun dengan wilayah dalam2. Bahkan keadaan diri ini menjadi lebih nyata setelah hilangnya kedua wilayah tersebut.

Dalam penyaksian ini, aku melihat bahwa diriku adalah sesuatu yang terdiam, seumpama kain hijab yang diam karena angin tidak meniupnya. Tatkala Alloh menghendaki agar aku bergerak (sehingga kemudian bergerak), tetapi dalam penyaksian setelah hilangnya kedua wilayah tersebut, aku tidak melihat dirinya bergerak sedikitpun. Aku telah lepas dari ikatan ruang dan waktu yang ikut hilang bersama wilayah dalam dan wilayah luar. Untuk melihat gerakan dirinya, maka aku harus terikat oleh ruang dan waktu (memasuki salah satu dari kedua wilayah tersebut) yang tidak bebas (dibatasi oleh Alloh).

Kenyataan ini membuat ku merasa bahwa diri ini seakan tidak ke mana-mana (tidak bergerak). Aku hanya menyaksikan kepada citra diri yang tidak bergerak dan bukan kepada realita diri yang bergerak. Aku melihat bahwa esensi diriku bukan diri yang bergerak, tetapi diri yang tidak bergerak. Seakan-akan aku seumpama matahari yang planet-planet berputar mengelilinginya. Tubuhku, fikiran, alam semesta, serta segala sesuatu selain diriku adalah sesuatu yang bergerak disekitarku.

Setelah penyaksian tersebut, aku melihat dua hal sebagai berikut:
Pertama, esensi diriku berada dalam ruang, dan tidak bersatu dengan ruang. Esensi tersebut adalah dzat ku, sementara ruang bukanlah diriku. Jika tanpa dikuasakan oleh Penguasa ruang dan waktu, maka mustahil ruang dapat menguasai ku dan aku menguasai ruang.
Kedua, aku memang terikat oleh waktu, tetapi waktu bukanlah diriku dan aku bukan sang waktu.

Catatan :

1 Dalam kesadaran sebagai hijab, aku yang melihat ke wilayah terdalam tidak lagi melihat diri ini sebagai hijab.
2 Aku tidak lagi menyaksikan wilayah dalam atau wilayah luar, tetapi menyaksikan sesuatu yang tidak dapat dilihat lagi kecuali diriku sendiri.